Literasi Keuangan : Menghadapi Peminjam Uang




Pernahkah teman-teman sesekali pasang Story lagi jalan-jalan di medsos, tak lama kemudian ada yang japri untuk pinjam uang?

Di sebuah kelas Literasi Keuangan Rumah Inspirasi kemaren ada yang curhat mengalami kejadian seperti itu.

Mau dipinjami, kita tak punya "uang dingin", ga mau minjemin, takut dikira ga peduli.

Apalagi untuk orang yang empatinya tinggi atau orang-orang tipikal people pleaser.
 Ada yang mau pinjam uang tetapi kita tidak bisa meminjamkan itu, rasanya akan sangat menyiksa, ga enak hati dan bikin galau.

Lalu bagaimana?

Nah, begini masukan dari Mas Aar Rumah Inspirasi


Saya sepakat sekali dg yang ditulis Mas Aar, alhamdulillah sebagian besar sudah kami terapkan. 

((Berikut tulisan Mas Aar))

Terima kasih sharingnya kak XX⁩ 

Kebayang ini hal yang tidak mudah diselesaikan, kak. Ini bagian dari pola pengasuhan panjang dan pengalaman hidup yang pernah dialami yang kemudian membantu kita.

Satu hal baik yang terjadi adalah: masalah ini disadari.

Kesadaran dan penerimaan atas kondisi ini menjadi pintu besar untuk pertumbuhan kita.

Dari sharing kak XX ada beberapa isu terkait emosi:
- sensitivitas terhadap pandangan orang lain (komen negatif dari lingkaran sekitar)
- ⁠kekhawatiran terhadap dampak buruk atas aksi personal yg dilakukan (peminjam datang - apakah beneran sudah datang atau masih dalam kekhawatiran)
- ⁠rasa bersalah ketika melakukan hal baik (jangan2 dianggap pamer)

Hati yg lembut ditambah terlalu peduli orang lain adalah kombinasi yang “mematikan”, kak.

karena ini bisa menjadi pintu orang mengeksploitasi kita. 

Orang lain bisa memanfaatkan utk kepentingannya (misalnya pinjam uang) dan menggunakan teknik2 komunikasi yang mengulik rasa bersalah kita, misalnya: 
- komentar “kamu sekarang punya uang banyak yaa..”
- ⁠”aku butuh uang untuk anakku yg sakit..”
- ⁠dll

Tekanan dari luar yang berbenturan dg nilai pribadi (takut, nggak enakan, rasa bersalah) menjadi pemicu “overgiving”.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

1. Menyadari, mengenali, dan menerima
Proses penting di awal adalah membawa emosi-emosi itu ke dalam kesadaran sehingga lebih mudah dikelola. Ini basic yang perlu terus dilatih.

Caranya: ketika sebuah emosi muncul, lakukan nafas sadar beberapa kali. Ini akan membantu untuk keluar dari mode survival/emosi menjadi lebih rasional dan lebih mengenali emosi yang dirasakan.

Dengan mengenali emosi lebih dalam, kita bisa membedakan antara:

- Empati sejati vs. dorongan untuk menyenangkan orang

- Keinginan memberi vs. ketakutan akan penilaian orang lain

2. Kelola emosi satu persatu
Mana yang kira2 lebih mudah dikelola dan diperbaiki:
- menghalau rasa bersalah?
- ⁠overthink?
- ⁠merespon orang?

Mulai dari yang paling mudah dilakukan supaya kita bisa merasakan keberhasilan dan pertumbuhan dari dalam diri kita.

3. Reframing narasi di kepala
Untuk menghalau rasa bersalah, kita bisa berlatih melakukan reframing kalimat negatif yg kita sampaikan pada diri sendiri dengan kalimat yg lebih memberdayakan, misalnya:
- “Kewajiban utama saya adalah berbahagia dan mengurusi keluarga ini saya. Ketika melakukan semua terkait ini, saya tidak melakukan hal yang egois, tapi memang inilah tugas saya.”
- ⁠”Masalah orang lain bukan tanggung jawab saya. Saya tidak bersalah saat tidak mengurusi masalah yang menimpa orang lain.”
- ⁠”Saya senang membantu, tapi bantuan itu atas keikhlasan saya (my term), bukan kemauan orang lain.”
- ⁠"Kegiatan melakukan kegiatan utk membahagiakan diri sendiri, anak, dan keluarga; saya tidak membutuhkan persetujuan siapapun.”
- ⁠”Komentar buruk sebenarnya substansinya bukan tentang saya, tetapi tentang masalahnya sendiri yg sedang dicari pelampiasannya.”
- ⁠”Semua orang boleh berpendapat dan berkomentar..”
- ⁠”Aku bukan sedang berfoya-foya, tapi ini adalah alokasi budget belajar anakku yang tidak bersekolah.”
- ⁠”Menolak memberikan pinjaman bukan berarti jahat, tetapi menjaga prioritas terbaik untuk keluarga.”
- ⁠"Jika orang marah saat ditolak dan tidak memahami penjelasan saya, yang jahat bukan saya, tetapi dia. Dia tidak menghormati keputusan saya dan keluarga saya. Kemarahannya adalah miliknya sendiri.”

*4. Berbasis pada fakta, bukan dugaan*
Biasakan membahaskan fakta, bukan analisis dan dugaan2 saja. 

Jika Anda khawatir dengan komentar orang lain, lakukan hal teknis, misalnya bagikan posting secara privat atau close friends. Di IG< masukkan orang2 dengan energi positif di sekitar Anda dalam close friend.

5. Keberhasilan kecil dan lingkungan pendukung
Perubahan-perubahan terkait emosi ini bukan hal yang mudah. Kita perlu keberhasilan-keberhasilan kecil, misalnya keberhasilan kecil bilang “tidak” dengan berbagai cara yg ringan, misalnya: tidak jadi membeli barang di toko, menolak ajakan dengan sopan, dll.

Juga, kita butuh pendukung yang bisa memahami kita dan menemani kita berproses memperbaiki diri. Mungkin pasangan, sahabat, anak, dll.

 Memiliki "ruang aman" yang kita percaya untuk mental kita sangat penting sekali untuk diupayakan. J

Demikian kak, semoga membantu.

Tentu saja, ini terbuka untuk didiskusikan, dipertajam atau bahan direvisi dengan informasi2 tambahan baru..

-Aar Sumardiono, WAG kelas Literasi Keuangan Rumah Inspirasi 

Teman-teman pembaca bisa dapat info lengkap terkait kelas-kelas parenting, pengembangan diri orang tua dan homeschooling di :
https://member.rumahinspirasi.com/
Instagram : https://www.instagram.com/rumahinspirasi_id?igsh=bGgyOTdkbmIyM2Np
***

Baiklah Ijin ikut berbagi juga ya teman-teman.

Salam kenal saya elsa Mur domisili saat ini di Solo.
Ibu dari 4 anak, berusia 11, 8 , 6, dan 2 tahun.

Sama dg kak XX, kami juga rutin setiap tahun roadtrip atau travelling.

Memang sudah diniatkan, direncanakan, dan diatur supaya kami punya banyak kenangan bersama anak2.

 dan supaya kami sekeluarga bisa lebih luwes dalam kehidupan (krn travelling apalagi roadtrip dan backpakeran itu sangat mengasah kepribadian ya😁)

Untuk strateginya agar lebih mudah terwujud salah satunya dengan memilih Homeschooling.

Alokasi biaya untuk tabungan biaya sekolah kami alihkan pada tabungan untuk mudik antar pulau (karena kami keluarga nomaden yg harus mudik ke Sumatera dan jawa) dan jalan2 sekali setahun.

Sekilas orang mungkin melihat wah, traveling terus. Padahal, anak kami ga sekolah, kami hidup minimalis (standar hidup kami jauh dibawah pendapatan kami).

Dan juga kami ga punya banyak aset apalagi tabungan. 


Awalnya memang banyak yg mencoba meminjam uang ke kami.

Alhamdulillah saya yg empatinya agak berlebih, diimbangi oleh suami yg tegaan dan selalu memikirkan resiko (khas analist bank😬)

Saya yg aslinya ga tegaan klo ga minjamin uang, karena selalu di ingatkan oleh suami, jadi bisa tegas untuk tidak meminjamkan uang.

Saya tumbuh dari orang tua sederhana yang keduanya (papa dan mama) sama2 ga tegaan kalau ada yang meminjam uang.

Saking ga tegaannya, walau pun uang yg ada adalah simpanan buat beli laptop kami pas kuliah. Uang itu tetap Dipinjamkan dengan alasan kasihan.

Eh, setelah beberapa tahun, ternyata si peminjam tak kunjung membayar utangnya.

Bahkan malah no hp mama saya yang diblokirnya dan sama sekali ga bisa ditemui.
Jadinya kami hatus berusaha keras memikirkan cara untuk membeli laptop dari alokasi dana lain.

Dari situ saya belajar bahwa, kebiasaan meminjamkan uang itu akan mengganggu kestabilan finansial kita.

Walau kita sudah hidup sederhana, dan gemar menabung. 

Kalau mudah meminjamkan uang ya akan merana juga hidupnya.

Menurut pengamatan saya, sebenarnya kalau kita bisa dan terbiasa merasa cukup (qonaah) dan bisa tegas untuk tidak meminjamkan uang, sambil banyak berdoa agar terhindar dari segala malapetaka.

 Sebenarnya kita bisa hidup bebas hutang.

Apalagi jika Didukung pula dg Kesehatan yg dijaga dg optimal (disiplin hidup sehat holistik) dan hidup sederhana.

Karena memang godaan rasa tidak qonaah ini sangat kuat.
Apalagi di jaman medsos sekarang.

Ada yg dalam pilihan standar hidup sudah sederhana, eh, saat menyekolahkan anak, dengan aneka alasan yang sebenarnya baik.

Membuat orangtua memutuskan menyekolahkan anak di sekolah yang biayanya sebenarnya di atas kemampuan orang tua.

Jadinya setiap kali mau bayaran, pusing, hidup lebih stress, suasana rumah jadi tidak tenang dan kebersamaan dengan keluarga jadintidak bisa dinikmati karena ayah dan ibu sibuk kepikiran tagihan.

Tetapi kadang memang ada kondisi dimana si peminjam benar2 kasihan bgt, benar2 kepepet.

 apalagi jika orang itu adalah orang yang sangat dekat dengan kita dan alasan dia meminjam bukan karena pembelanjaan di atas kemampuan, tapi murni hal2 diluar dugaan spt kecelakaan, atau mendadak sakit.

Di titik itu saya akan meminjamkan uang padanya.

Dengan catatan, jumlah uang yang saya pinjamkan adalah sejumlah uang yang sanggup saya sedekahkan.
Misal dia meminjam 500rb, saya pinjamkan 250 atau 300 sesuai kemampuan saya saat itu.


Jadi sekalipun dia ga bisa membayar, cashflow kami tidak terganggu. Tetapi kebutuhan saya untuk tetap membantu orang lain yg kepepet terpenuhi.

Singkatnya strategi kami agar lebih stabil finansial :
1. Pangkas pengeluaran2 tidak bermakna
2. Hidup 80% dari standar gaji. Gaji 1 juta, standar hidup 800rb, jadi bisa saving 200rb.
3. Jika meminjamkan uang, pinjamkan sesuai kemampuan bersedekah, tanpa menunggu dan berharap banyak uangnya kembali. Klo kembali alhamdulillah, ga kembali gpp, jadi ibadah.

4. Fokus pada lingkar kendali, jangan biarkan orang bergantung pada kita. 

Karena kita bukan Tuhan, Dzat tempat bergantung semua makhluk, yang menanggung rezeki setiap makluknya. 

Menurut saya Ranah kita hanya membantu sesuai kemampuan dan mendoakan sepenuh hati. 

Kalau sampai kita merasa bersalah berat krn tidak bisa membantu sebenarnya kita sedang mengambil alih kontrol Tuhan. Dan itu pasti pekerjaan berat dan mustahil.

Dan menurut saya literasi keuangan ini juga sangat erat kaitannya dengan aspek tauhid atau ketuhanan kita. 
Jika tauhidnya lemah,kita akan lebih mudah goyah.


Kurang lebih begitu kak XX, dan teman2 semua.

Maaf kalau jadi panjang dan kemana2

🙏🙏

Solo, 18 Juni 2025





Posting Komentar

0 Komentar